Tuesday, July 31, 2012

Manfaat Memaafkan



Jadilah Pemaaf, Ini Sehat untuk Jantung Anda!

Bulan Ramadhan ini menjadi bulan yang sangat tepat untuk kita saling memaafkan kesalahan orang lain maupun meminta maaf atas kesalahan yang kita buat sebelum tiba waktunya hari kemenangan nanti.
Keikhlasan memaafkan dan melupakan kesalahan orang lain tak hanya bermanfaat untuk kesehatan psikologis, tapi juga kesehatan fisik yaitu baik untuk jantung Anda.
Penelitian mengungkapkan, mereka yang mampu memaafkan peristiwa yang menyakitkan akan melindungi diri mereka dari lonjakan tekanan darah atau hipertensi yang meningkatkan risiko serangan jantung dan stroke. Seperti dikutip dari dailymail.
Penelitian yang dilakukan peneliti dari University of California, San Diego meminta lebih dari 200 relawan untuk berpikir tentang teman yang telah menyinggung mereka. Setengah dari kelompok diperintahkan berpikir bahwa hal itu membuat mereka marah, sementara setengah lainnya didorong untuk memaafkan kesalahan teman mereka.
Para partisipan setelah lima menit berpikir diperintahkan untuk berpikir tentang hal itu lagi dengan cara apapun yang mereka pilih. Para peserta dimonitor dengan kabel, yang mengambil tekanan darah dan pembacaan detak jantung.
Tim yang dipimpin oleh Dr Britta Larsen, menemukan kelompok marah melihat peningkatan terbesar dalam tekanan darah dibandingkan dengan kelompok pemaaf setelah sesi merenungkan pertama.
Para penulis mengatakan, meskipun penelitian kecil, penelitian yang diterbitkan di Journal of Medicines Biobehavioural itu – menyarankan pengampunan karena bisa memberi reaktivitas yang rendah terhadap stress dan ksehatan fisik lainnya.
Jangka pendek kenaikan tekanan darah diketahui memang tidak berbahaya. Namun, jika itu terjadi selama beberapa maka akan meningkatkan risiko serangan jantung atau stroke. [inilah.com]
READ MORE - Manfaat Memaafkan

Wednesday, July 25, 2012

Keadilan dalam Islam

Umar bin Khattab - Keadilannya Membuat Seorang Yahudi Tua Masuk Islam

Sejak menjabat gubernur, Amr bin Ash tidak lagi pergi ke medan tempur. Dia lebih sering tinggal di istana. Di depan istananya yang mewah itu ada sebidang tanah yang luas dan sebuah gubuk reyot milik seorang Yahudi tua.
“Alangkah indahnya bila di atas tanah itu berdiri sebuah mesjid,” gumam sang gubernur.
Singkat kata, Yahudi tua itu pun dipanggil menghadap sang gubernur untuk bernegosiasi. Amr bin Ash sangat kesal karena si kakek itu menolak untuk menjual tanah dan gubuknya meskipun telah ditawar lima belas kali lipat dari harga pasaran.
“Baiklah bila itu keputusanmu. Saya harap Anda tidak menyesal!” ancam sang gubernur.
Sepeninggal Yahudi tua itu, Amr bin Ash memerintahkan bawahannya untuk menyiapkan surat pembongkaran. Sementara si kakek tidak bisa berbuat apa-apa selain menangis. Dalam keputusannya terbetiklah niat untuk mengadukan kesewenang- wenangan gubernur Mesir itu pada Khalifah Umar bin Khattab.

Orang Yahudi itu pun pergi ke Madinah untuk menemui Khalifah Umar bin Khatab. Sesampainya di Madinah ia bingung di manakah letak Istana Sang Khalifah.
“Dimanakah istana raja negeri ini?” tanya seorang Yahudi itu pada seorang lelaki.
“Lepas Dzuhur nanti beliau akan berada di tempat istirahatnya di depan masjid, dekat batang kurma itu,” jawab lelaki yang ditanya.
Dalam benak si Yahudi itu terbayang keindahan istana Khalifah. Apalagi umat Islam sedang di puncak jayanya. Tentu bangunan kerajaannya pastilah sebuah bangunan yang megah dengan dihiasi kebun kurma yang rindang tempat berteduh Khalifah.
Namun, lelaki itu tidak mendapati dalam kenyataan bangunan yang ada dalam benaknya itu. Dia jadi bingung dibuatnya. Sebab di tempat yang ditunjuk oleh lelaki yang ditanya tadi tidak ada bangunan megah yang mirip istana. Memang ada pohon kurma tetapi cuma satu batang. Di bawah pohon kurma, tampak seorang lelaki bertubuh tinggi besar memakai jubah kusam. Lelaki berjubah kusam itu tampak tidur-tiduran ayam atau mungkin juga sedang berdzikir. Yahudi itu tidak punya pilihan selain mendekati lelaki yang bersender di bawah batang kurma, “Maaf, saya ingin bertemu dengan Umar bin Khatab,” tanyanya.
Lelaki yang ditanya bangkit, “Akulah Umar bin Khatab.”
Yahudi itu terbengong-bengong, “Maksud saya Umar Sang Khalifah, pemimpin negeri ini,” katanya menegaskan.
“Ya, akulah Khalifah pemimpin negeri ini,” kata Umar bin Khatab tak kalah tegas.
Mulut Yahudi itu terkunci, takjub bukan kepalang. Jelas semua itu jauh dari bayangannya. Jauh sekali kalau dibandingkan dengan para rahib Yahudi yang hidupnya serba wah. Itu baru kelas rahib, tentu akan lebih jauh lagi kalau dibandingkan dengan gaya hidup rajanya yang sudah jamak hidup dengan istana serba gemerlap.
Sungguh sama sekali tidak terlintas di benaknya, ada seorang pemimpin yang kaumnya tengah berjaya, tempat istirahatnya cuma dengan menggelar selembar tikar di bawah pohon kurma beratapkan langit lagi.
“Di manakah istana tuan?” tanya Si Yahudi di antara rasa penasarannya.
Khalifah Umar bin Khatab menuding, “Kalau yang kau maksud kediamanku maka dia ada di sudut jalan itu, bangunan nomor tiga dari yang terakhir.”
“Itu? Bangunan yang kecil dan kusam?”
“Ya! Namun itu bukan istanaku. Sebab istanaku berada di dalam hati yang tentram dengan ibadah kepada Allah.”
Yahudi itu terdiam mendengar ucapan Umar bin Khatab.
“Siapa anda dan ada perlu apa mencari saya?” tanya Umar bin Khatab. Setelah mengatur detak jantungnya karena berhadapan dengan seorang Khalifah yang tinggi besar dan penuh wibawa, Yahudi itu mengadukan kasusnya. Padahal penampilan Khalifah Umar amat sederhana untuk ukuran pemimpin yang memiliki kekuasaan begitu luas. Dia ceritakan pula bagaimana perjuangannya untuk memiliki rumah itu.
Merah padam wajah Umar begitu mendengar penuturan orang Yahudi itu.
“Masya Allah, kurang ajar sekali Amr!” kecam Umar.
“Sungguh Tuan, saya tidak mengada-ada,” Yahudi itu semakin gemetar dan kebingungan. Dan ia semakin bingung ketika Umar memintanya mengambil sepotong tulang, lalu menggores tulang itu dengan pedangnya.
“Berikan tulang ini pada Gubernurku, saudara Amr bin Ash di Mesir,” kata sang Khalifah, Al Faruq, Umar bin Khatab.
Si Yahudi itu semakin kebingungan, “Tuan, apakah Tuan tidak sedang mempermainkan saya!” ujar Yahudi itu pelan.
“Pulanglah, lakukan apa yang kukatakan.” Ucap Sang Khalifah.
Dia cemas dan mulai berpikir yang tidak-tidak. Jangan-jangan Khalifah dan Gubernur setali tiga uang, pikirnya. Di manapun, mereka yang mayoritas dan memegang kendali pasti akan menindas kelompok minoritas, begitu pikir si Yahudi.
Sekembalinya ke Mesir si Yahudi pergi menemui Gubernur Amr bin Ash dengan membawa tulang dari Khalifah Umar bin Khatab. Yahudi itu semakin tidak mengerti dengan tingkah laku Gubernur Amr bin Ash setelah menerima sepotong tulang yang dibawanya. “Bongkar masjid itu!” teriak Amr bin Ash gemetar. Wajahnya pucat dilanda ketakutan yang amat sangat. Yahudi itu berlari keluar menuju gubuk reyotnya untuk membuktikan kesungguhan perintah Gubernur. Benar saja, sejumlah orang sudah bersiap-siap menghancurkan masjid megah yang sudah hampir jadi itu.
“Tunggu!” teriak Si Yahudi.
“Maaf, Tuan Gubernur, tolong jelaskan perkara pelik ini. Berasal dari apakah tulang itu? Apa keistimewaan tulang itu sampai-sampai Tuan berani memutuskan untuk membongkar begitu saja bangunan yang amat mahal ini. Sungguh saya tidak mengerti!” Ucap Si Yahudi dengan wajah teramat sangat kebingungan.
Amr bin Ash memegang pundak Si Yahudi, “Tulang itu hanyalah tulang biasa, baunya pun busuk.”
“Tapi…..” sela Si Yahudi.
“Karena berisi perintah Khalifah, tulang itu menjadi sangat berarti.” Kata Gubernur Amr bin Ash.
“Ketahuilah, tulang nan busuk itu adalah peringatan bahwa berapa pun tingginya kekuasaan seseorang, ia akan menjadi tulang yang busuk jika tidak berlaku adil. Sedangkah huruf alif yang digoreskan di atas tulang itu artinya berlaku adil dan luruslah kamu pada siapapun, atau aku yang akan meluruskanmu dengan pedangku!” jelas Sang Gubernur.
“Sungguh agung ajaran agama Tuan. Sungguh, saya rela menyerahkan tanah dan gubuk itu. Dan bimbinglah saya dalam memahami ajaran Islam!” tutur si kakek itu dengan mata berkaca-kaca.
(Dari berbagai sumber)
READ MORE - Keadilan dalam Islam

Thursday, July 19, 2012

Puasa sembuhkan penyakit magh

REPUBLIKA.CO.ID, Kekhawatiran penyakti mag bisa mengganggu ibadah puasa, tak selamanya benar. Malah, puasa justru bisa menyembuhkan penyakit mag. Dr Ari Fahrial Syam, spesialis saluran pencernaan, mengatakan pernah ada penelitian di Paris kepada 13 sukarelawan yang melaksanakan puasa Ramadhan. Hasilnya, terjadi peningkatan pepsin dan peningkatan asam lambung dan kembali normal setelah puasa.

Puasa akan meningkatkan kadar gastrin dan menurunkan asam lambung, katanya dalam acara  diskusi ibadah puasa berkualitas tanpa gangguan penyakit. Yang digelar Pengurus Besar Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam (PAPDI).

Sakit mag atau dispepsia merupakan kumpulan gejala rasa nyeri atau rasa tidak nyaman pada daerah epigastrium, yaitu bagian ulu hati yang letaknya di perut tengah bagian atas. Ia mengatakan, sakit mag untuk orang Indonesia banyak yang berjenis dispepsia fungsional.

Hal ini berdasarkan survei yang pernah dilakukan pada 2001. Kala itu, penelitian dilakukan terhadap 7.092 pasien yang menderita sakit mag. Hasilnya, sekitar 86,41 persen di antaranya menderita sakit mag fungsional.  Penyebabnya, makan yang tidak teratur. Rata-rata penderita mag diawali dari pola makan yang tidak teratur, jelas Ari.

Selain itu, kebiasaan makan cemilan berlemak, minum kopi atau minuman bersoda sepanjang hari, merokok, dan stres juga punya pengaruh besar. Dokter yang bertugas pula di divisi gastroenterologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam, FKUI/RSUPNCM ini mengungkapkan  puasa bisa membuat keluhan sakit mag berkurang atau bahkan sembuh. Sebab, apa yang menjadi penyebab mag fungsional tadi menjadi lebih dikontrol. Dispepsia fungsional akan membaik jika berpuasa, katanya.

Kalaupun harus menggunakan obat-obatan, ia menyarankan penderita mag untuk lebih teliti seperti obat antasida. Obat ini diminum kalau ada keluhan karena sifatnya menetralkan asam lambung, ujarnya. Artinya, obat ini hanya bekerja ketika gejala maag mulai tampak. Ketika obat ini diminum tanpa ada gejala, justru akan sia-sia.

READ MORE - Puasa sembuhkan penyakit magh

Wednesday, July 18, 2012

Ini Uraian Mengapa Penetapan 1 Ramadan Selalu Berbeda


SEMENANJUNG Arab adalah bentang daratan beralam kejam di siang hari. Tandus dan kering. Namun di malam hari. Arab adalah "surga" bagi para astronom. Langit Arab di malam hari, selalu indah.
Seperti China, sebagai bangsa dan peradaban tua, sastrawan Arab banyak menyanjung langit di malam hari. Malam adalah inspirasi keindahan, sedangkan siang diibaratkan "kekerasan."
Tak mengherankan jika khasanah intelektual dunia soal astronomi banyak lahir di tanah Arab. Gugusan bintang-bintang banyak lahir dari istilah Arab awal. Rasi bintang Orion awalnya dikenal dengan Al-Jabbar, Taurus (Ath-Thawr), Canis Major (Al-Kalb Al-Akbar), Canis Minor (Al-Kalb Al-Asghar), Leo (Al-Asad), Gemini (At-Tawa'man), Scorpius (Al-'Aqrab), dan beberapa lainnya.
Inilah yang menjelaskan, kenapa di banyak negara-negara Islam di Semenanjung Arab, seperti Mesir, Syira, atau Yaman dalam memutuskan 1 Ramadan, selalu merujuk ke Arab. Ke Tanah Haram, Mekkah.
Bahkan Malaysia dan Jepang, yang jauh di tenggara Asia, pun senantiasa berkiblat pada penentuan 1 Ramadan atau Syawal di Mekkah. Langit Mekkah dan Jeddah, selalu lebih terang. Rasi bintang di malam hari selalu terlihat lebih jelas.
Dan, memang perbedaan 1 Syawal dan 1 Ramadan hanya soal cara sistem penghitungan belaka, dan kondisi langit atau ufuk saat rukyah hilal.
Ingatkah kita, di Indonesia, hampir 3 dekade di masa pemerintah Soeharto begitu kuat perbedaan "cara" itu nyaris tak pernah ada. Itu karena pemerintah kuat, dan masih punya otoritas dan kepercayaan.
Sementara Indonesia umumnya menentukan sendiri, melalui pertemuan antara pemeritah dan ormas-ormas Islam.
Dalam perhitungan 1 Ramadan dan 1 Syawal, ada yang memakai Hisab dengan perhitungan astronomi yang rumit, ada pula yang memakai Ru'yah atau melihat bulan/hilal.
Ada pun yang memakai sistem Hisab berpendapat mereka melihat bulan dengan memakai ilmu kalendering. Inilah yang selama ini jadi rujukan ormas Muhammadiyah.
Dengan rujukan ini, 1 Ramadan 1455, atau di 22 tahun akan datang (tahun 2034) mendatang, sudah bisa diketahui, atau disesuaikan dengan kalender masehi.
Yang kedua, dengan rukyah, jika bulan terlihat, itulah saat mulai berpuasa atau berbuka puasa (Idulfitri). Inilah yang dipakai oleh pemerintah Indonesia, dalam hal ini Kemenag dan Ormas Nahdlatul Ulama (NU).
Pada Ru'yah lokal, tiap penduduk melihat bulan sendiri-sendiri, sehingga tiap kota atau tiap negara merayakan hari Idulfitri sendiri-sendiri bisa berbeda satu negara dengan negara yang lain bahkan satu kota dengan kota yang lain.
Ada pun yang memakai Ru'yah Global begitu ada minimal 2 orang saksi yang dipercaya melihat bulan, maka itulah awal Ramadan atau awal Syawal. Rujukan yang terakhir ini biasanya http://moonsighting.com/
Umumnya Tim Ru'yah di Indonesia gagal melihat hilal (bulan muda) bukan karena mereka "bodoh" atau minimnya peralatan. Ini lebih disebabkan karena memang langit lagi berawan, atau banyak partikel cahaya dari bumi. Inilah yang menyebabkan bulan muda sering tertutup awan.
Selain itu, Jawa yang merupakan pulau terpadat di dunia begitu terang oleh cahaya lampu-lampu gedung dan rumah-rumah sehingga langit juga terlihat lebih terang termasuk di Boscha.
Akibatnya sinar-sinar bintang dan bulan terganggu dan terlihat kecil dan redup. Di Arab sebaliknya. Langit tidak berawan. Dengan luas darat yang lebih besar daripada Indonesia (2,4 juta km2) sementara jumlah penduduk cuma 1/5 pulau Jawa, banyak daerah tak bertuan yang tidak berlampu.
Galap gulita. Itulah, kenapa langit dan rasi bintang di Arab pada malam hari selalu lebih indah.
Sehingga langit begitu hitam kelam, sementara bintang-bintang dan bulan jadi tampak lebih besar (sekitar 4-6x lipat daripada di Indonesia) dan lebih terang. Oleh karena itu, Hilal lebih mudah terlihat di sana.
Deputi Bidang Sains, Pengkajian dan Informasi Kedirgantaraan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Thomas Djamaluddin mengungkapkan setelah mengamati posisi bulan menyimpulkan jika nantinya akan ada potensi perbedaan dalam penetapan 1 Ramadan.
Dari perjalanan bulan, diketahui bahwa pada maghrib akhir Sya'ban atau 19 Juli 2012 nanti bulan telah wujud atau tampak di Indonesia. Akan tetapi ketinggiannya kurang dari imkan rukyat. Ketentuan Imkan rukyat menggunakan kriteria yang disepakati ketinggian bulan minimal 2 derajat.
Nah, karena pada 19 Juli 2012 bulan sudah wujud tetapi kurang dari 2 derajat, maka pengguna hisab wujudul hilal akan menetapkan awal Ramadan jatuh pada 20 Juli. Pengguna hisab wujudul hilal ini di antaranya adalah Muhammadiyah.
Sedangkan ormas yang menggunakan hisab imkan rukyat akan menetapkan 1 Ramadan pada 21 Juli. Sementara itu, posisi hilal yang rendah tadi (antara 0-2 derajat) tidak mungkin akan berhasil di-rukyat pada 19 Juli.
Maka pengguna rukyat kemungkinan besar menetapkan 1 Ramadan jatuh pada 21 Juli. Pengguna rukyat ini di antaranya adalah pemerintah dan NU (Nahdlatul Ulama). (tribunnews)
READ MORE - Ini Uraian Mengapa Penetapan 1 Ramadan Selalu Berbeda