Wednesday, April 15, 2009

6 Sifat Shahabat

Mudzakarah 6 Sifat Shahabat

Allah SWT meletakkan kesuksesan dan kebahagiaan hidup manusia di dunia dan akhirat hanyalah pada agama Islam yang sempurna. Agama Islam yang sempurna adalah agama yang dibawa oleh Rasululloh SAW. Meliputi Iman, Ibadah, Muamalah, Muasyarat dan Ahlaq. Pada saat ini umat islam tidak ada kekuatan dan kemampuan untuk mengamalkan agama secara sempurna. Para sahabat RA telah sukses dan jaya dalam mengamalkan agama secara sempurna karena mereka memiliki sifat-sifat dasar yang terkandung dalam enam sifat sahabat yang meliputi, 1. Yakin atas kalimah thoyyibah “laa ilaaha illallah muhammadurrasulullah” 2. Sholat khusyu’ dan khudlu’ 3. Ilmu ma’adzikir 4. Ikromul Muslimin 5. Tashihun niat 6. Da’wah dan tabligh khuruj fi sabilillah. Enam sifat sahabat RA tersebut bukan merupakan wujud agama yang sempurna, karena agama yang sempurna terkandung dalam al qur’an dan al hadits, tetapi apabila enam sifat para sahabat tersebut ada dalam diri kita maka Allah SWT akan memberikan kemudahan kepada kita untuk mengamalkan agama secara sempurna.

1. Yakin atas kalimah thoyyibah “laa ilaaha illallah muhammadurrasulullah“.
Arti : Tidak ada yang berhak disembah selain Allah Swt. Dan Baginda Muhammad Saw. Adalah utusan Allah.
Maksud Laa ilaha illallah
Mengeluarkan keyakinan pada mahluk dari dalam hati dan memasukkan keyakinan hanya kepada Allah Swt. Di dalam hati.
Fadhilah :
1. Barang siapa yang mati sedangkan dia yakin tidak ada yang berhak disembah selain Allah Swt., maka dijamin masuk surga.
2. Barang siapa yang bersaksi bahwa tidak ada yang berhak disembah selain Allah dan hatinya membenarkan lisannya, maka dipersilahkan masuk surga dari pintu mana yang dia suka.
3. Sekecil-kecil iman dalam hati maka akan Allah berikan surga yang luasnya 10 kali dunia.
Cara mendapatkan :
1. Dakwahkan pentingnya iman yakin.
2. Latihan dengan cara memperbanyak halaqoh-halaqoh / majlis iman yakin (bicara atau dengar).
3. Berdoa kepada Allah agar diberikan hakekat iman dan yakin.
Maksud Muhammadarrasulullah
Meyakini hanya satu-satunya jalan untuk mencapai kejayaan dunia dan akherat hanya dengan cara ikut sunnah Rasulullah Saw.
Fadhilah :
1. Rasulullah Saw. bersabda, Tidak akan masuk neraka seseorang yang bersaksi bahwa tidak ada yang berhak disembah selain Allah dan Aku (Muhammad) sebagai utusan Allah.
2. Rasulullah Saw. bersabda barang siapa yang berpegang teguh dengan sunnahku dikala rusaknya ummatku maka baginya pahala 100 orang mati syahid.
3. Rasulullah Saw. Bersabda barang siapa menghidupkan sunnahku sungguh dia cinta padaku, dan barangsiapa yang cinta padaku maka akan bersamaku didalam surga.
Cara mendapatkan :
1. Dakwahkan pentingnya menghidupkan sunnah Rasulullah Saw.
2. Latihan , yaitu dengan cara menghidupkan sunnah Rasulullah Saw. Dalam kehidupan kita selama 24 jam.
3. Berdoa kepada Allah agar diberikan kekuatan untuk menghidupkan sunnah.

2. Sholat khusyu’ dan khudlu’
Arti : Shalat dengan konsentrasi batin dan merendahkan diri dengan mengikut cara yang dicontohkan oleh Rasulullah Saw.
Maksud Shalat Khusu dan Khudu
Membawa sifat-sifat ketaatan kepada Allah Swt didalam shalat kedalam kehidupan sehari-hari.
Fadhilah :
1. Allah berfirman : Sesungguhnya shalat dapat mencegah dari perbuatan keji dan mungkar.
2. Allah berfirman : Carilah pertolongan Allah dengan sabar dan shalat.
3. Rasulullah Saw. Bersabda : shalat adalah milahnya orang beriman.
Cara mendapatkan :
1. Dakwahkan pentingnya shalat
2. Latihan dengan cara :
a. Memperbaiki dhahirnya shalat.
b. Menghadirkan keagungan Allah
c. Belajar menyelesaikan masalah dengan shalat
3. Berdoa kepada Allah agar diberikan hakekat shalat khusyu dan khudu.

3. Ilmu ma’adzikir
Arti Ilmu : Semua petunjuk yang dating dari Allah Swt melalui Baginda Rasulullah Saw.
Arti Dzikir: Mengingat Allah sebagaimana agungnya Allah.
Maksud Ilmu ma’adzikir
Mengamalkan perintah Allah Swt. Pada setiap saat dan keadaan dengan menghadirkan keagungan Allah didalam hati dan ikut cara Rasulullah Saw.
Fadhilah Ilmu:
1. Apabila Allah menghendaki kebaikan pada seorang hamba, maka akan Allah fahamkan dirinya pada masalah agama.
2. Barangsiapa berjalan mencari ilmu maka akan Allah mudahkan untuknya jalan menuju surga.
3. Barangsiapa mempelajari satu ayat Al Quran maka nilainya adalah lebih baik daripada shalat sunnah 100 rakaat. Barangsiapa mempelajari satu bab dari ilmu maka lebih baik nilainya daripada shalat sunnah 1000 rakaat.
Fadhilah Dzikir:
1. Perumpamaan orang yang berdzikir dengan orang yang tidak berdzikir adalah seperti orang yang hidup dibandingkan dengan orang yang mati.
2. Allah berfirman : Dengan mengingat Allah maka hati akan menjadi tenang.
3. Allah berfirman : Ingatlah pada Ku niscaya Aku akan ingat kepadamu.
Cara mendapatkan ilmu fadhail :
1. Dakwahkan pentingnya ilmu fadhail
2. Latihan dengan cara :
a. Duduk dalam halaqoh fadhail di masjid dan di rumah.
b. Ajak manusia untuk duduk dalam halaqoh fadhail
c. Hadirkan fadhail dalam setiap amalan .
3. Berdoa kepada Allah agar diberikan hakekat ilmu fadhail.
Cara mendapatkan ilmu masail :
1. Dakwahkan pentingnya ilmu masail
2. Latihan dengan cara :
a. Duduk dalam halaqoh masail dengan para alim ulama.
b. Bertanya kepada ulama baik untuk masalah agama maupun dunia.
c. Sering berziarah kepada para alim ulama .
3. Berdoa kepada Allah agar diberikan hakekat ilmu masail.
Cara mendapatkan dzikir :
1. Dakwahkan pentingnya dzikir kepada Allah Swt.
2. Latihan dengan cara :
a. Setiap hari membaca Al Quran (usahakan 1 juz).
b. Membaca tasbihat, shalawat dan istigfar masing-masing 100 X.
Ketika membaca tasbihat maka hadirkan kemahasucian Allah
Ketika membaca shalawat maka ingat jasa-jasa Rasulullah kepada kita.
Ketika membaca istigfar maka hadirkan sifat Maha Pengampunnya Allah.
c. Amalkan doa-doa masnunah (harian) .
3. Berdoa kepada Allah agar diberikan hakekat dzikir.

4. Ikromul Muslimin
Arti : Memuliakan sesame orang islam / muslim.
Maksud ikramul muslimin
Menunaikan hak-hak semua orang islam tanpa meminta hak daripadanya.
Fadhilah :
1. Allah akan menolong seorang hamba selagi dia menolong saudaranya.
2. Barang siapa menutup aib saudaranya yang muslim maka Allah akan menutup aibnya dan barang siapa membuka aib saudaranya yang muslim maka Allah akan membuka aibnya sampai dia akan dipermalukan di rumahnya sendiri.
3. Senyummu didepan saudaramu adalah sedekah.
Cara mendapatkan :
1. Dakwahkan pentingnya ikram
2. Latihan dengan cara :
a. Memberi salam kepada orang yang kita kenal ataupun yang tidak kita kenal.
b. Menyayangi yang muda, menghormati yang tua, memuliakan uloama dan menghormati sesama.
c. Berbaur dengan semua orang yang berbeda-beda wataknya.
3. Berdoa kepada Allah agar diberikan ahlaq sebagaimana ahlaq Baginda Rasulullah Saw.

5. Tashihun niat
Arti : Membetulkan / meluruskan niat
Maksud tashihun niat
Membersihkan niat pada setiap amalan semata-mata karena Allah Swt.
Fadhilah :
1. Sesungguhnya Allahtidak akan menerima amalan seseorang kecuali dengan ikhlas.
2. Sesungguhnya Allah tidak memandang pada rupamu dan hartamu tetapi Dia akan memandang pada hatimu dan amalanmu.
3. Baginda Rasulullah Saw. Bersabda : Wahai Muadz jagalah keihklasan karena amal yang ikhlas walau sedikit akan mencukupi.
Cara mendapatkan :
1. Dakwahkan pentingnya ikhlas.
2. Latihan dengan cara : setiap beramal periksa niat kita, sebelum beramal, ketika beramal dan setelah beramal, bersihkan niat agar semata-mata hanya karena Allah.
3. Berdoa kepada Allah agar diberikan hakekat ikhlas dalam beramal.

6. Da’wah dan tabligh khuruj fi sabilillah
Arti : Dakwah mengajak, Tabligh menyampaikan dan khuruj fisabilillah adalah keluar di jalan Allah.
Maksud
1. Memperbaiki diri, yaitu bagaimana agar dapat menggunakan harta diri dan waktu sebagaimana yang diperintahkan Allah.
2. Menghidupkan agama secara sempurna pada diri sendiri dan semua manusia diseluruh alam dengan menggunakan harta dan diri sendiri.
Fadhilah :
1. Allah berfirman : dan adakah yang perkataannya lebih baik daripada seseorang yang mengajak manusia kepada Allah.
2. Barangsiapa yang mengajak kepada petunjuk kebaikan dia akan mendapatkan pahala seperti orang yang mengamalkan.
3. Sepagi sepetang dijalan Allah lebih baik daripada mendapatkan dunia dan seisinya.
Cara mendapatkan :
1. Dakwahkan pentingnya dakwah dan tabligh.
2. Latihan dengan cara : keluar dijalan Allah minimal 4 bulan seumur hidup, 40 h setiap tahun, 3h setiap bulan dan 2,5 jam setiap hari. Tingkatkan dengan cara bertahap-tahap menjadi 4 bl tiap tahun, 10h tiap bulan dan 8 jam setiap hari.
3. Berdoa kepada Allah agar diberikan hakekat dakwah dan tabligh yaitu dapat menggunakan harta, diri dan waktu untuk kepentingan agama.
READ MORE - 6 Sifat Shahabat

Monday, April 6, 2009

waktu terlarang sholat

waktu terlarang sholat
Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a, ia berkata, "Shafwan bin al-Mu'aththil pernah bertanya kepada Rasulullah saw, 'Wahai Rasulullah, aku ingin bertanya kepadamu tentang suatu perkara yang engkau ketahui dan aku tidak tahu tentangnya.' 'Perkara apa itu?' tanya Rasulullah. la berkata, 'Adakah waktu di siang atau malam hari yang telarang bagi kita untuk mengerjakan shalat?' Rasulullah saw. menjawab, 'Ya ada, jika engkau telah mengerjakan shalat Shubuh, maka janganlah mengerjakan shalat sunnah hingga matahari terbit. Karena matahari terbit di antara dua tanduk syaitan. Setelah itu, silahkan engkau mengerjakan shalat sunnah, karena shalat pada saat itu dihadiri (oleh para Malaikat) dan diterima hingga matahari tepat di atas kepalamu seperti tegak lurusnya tombak. Jika matahari tepat di atas kepalamu, maka janganlah shalat, karena saat itu Jahannam dinyalakan dan pintu-pintunya dibuka. Hingga matahari tergelincir ke arah kananmu (ke arah barat). Jika matahari telah tergelincir, maka silahkan engkau shalat, karena shalat pada saat itu dihadiri (oleh para Malaikat) dan diterima hingga engkau mengerjakan shalat 'Ashar. Kemudian janganlah mengerjakan shalat sunnah hingga matahari terbenam," (Shahih, HR Ibnu Majah [1252], Ibnu Hibban [1452] dan al-Baihaqi [11/ 455]).

Diriwayatkan dari 'Uqbah bin 'Amir r.a. ia berkata, "Ada tiga waktu yang Rasulullah saw. melarang kami mengerjakan shalat dan menguburkan jenazah; Ketika matahari terbit hingga benar-benar meninggi, ketika bayangan orang yang berdiri sudah tegak lurus pada waktu tengah hari liingga matahari tergelincir, dan ketika matahari telah condong untuk tenggelam hingga benar-benar tenggelam," (HR Muslim [831]).

Diriwayatkan dari 'Abdullali bin 'Abbas r.a. berkata, "Telah bersaksi kepadaku orang-orang yang dapat kupercaya, termasuk di dalamnya orang yang paling aku percayai, yakni 'Umar bin Khaththab r.a, bahwasanya Rasulullah saw. melarang shalat sunnah sesudah shalat Shubuh hingga matahari terbit dan sesudah shalat 'Ashar hingga matahari terbenam," (HR. Bukhari [581] dan Muslim [826]).

Diriwayatkan dari Abu Sa'id al-Khudri r.a. berkata, "Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda, 'Tidak ada shalat sunnah sesudah shalat Shubuh hingga matahari benar-benar meninggi, dan tidak ada shalat sunnah sesudah shalat 'Ashar hingga matahari benar-benar tenggelam’," (HR Bukhari [582] dan Muslim [827]).

Diriwayatkan dari ‘Amr bin 'Abasah r.a. dalam sebuah hadits yang panjang ia berkata, "Wahai Rasulullah, ajarilah aku perkara yang Allah SWT ajarkan kepadamu sedang aku tidak mengetahuinya, ajarilah aku tentang shalat." Rasulullah bersabda, "Kerjakanlah shalat Shubuh, kemudian jangan kerjakan shalat hingga matahari terbit dan meninggi, karena matahari terbit di antara dua tanduk syaitan. Pada saat itu, orang-orang kafir sujud kepadanya. Setelah itu, kerjakanlah shalat sunnah karena shalat pada saat itu disaksikan dan dihadiri (oleh para Malaikat). Hingga bayangan tegak lurus seperti batang tombak. Jangan kerjakan shalat (pada waktu ini), karena pada saat itu, Neraka Jahannam dinyalakan. Jika bayangan telah condong, maka kerjakanlah shalat, karena shalat pada saat itu disaksikan dan dihadiri (oleh para Malaikat). Hingga engkau mengerjakan shalat 'Ashar. Sesudah itu, janganlah shalat hingga matahari terbenam. Karena matahari terbenam di antara dua tanduk syaitan. Pada saat itu, orang-orang kafir sujud kepadanya," (HR Muslim [832]).

Diriwayatkan dari Abu Bashrah al-Ghifari r.a. berkata, "Rasulullah SAW mengimami kami shalat 'Ashar di Mukhammash. Sesudah shalat, beliau bersabda, 'Sesungguhnya, shalat ini telah diwajibkan atas ummat sebelum kalian, akan tetapi mereka menyianyiakannya. Barangsiapa menjaganya, maka ia mendapat pahala dua kali lipat. Dan tidak ada shalat sesudahnya (sesudah shalat ‘Ashar) hingga bintang-bintang terbit’," (HR Muslim [830]).

Diriwayatkan dari 'Abdullah bin 'Umar r.a. berkata, "Rasulullah bersabda, ‘Jika bulatan matahari mulai muncul, maka tundalah shalat hingga matahari benar-benar meninggi. Jika bulatan matahari mulai tenggelam, maka tundalah shalat hingga matahari benar-benar tenggelam’," (HR Bukhari [583] dan Muslim [829]).

Kandungan Bab:

1. Intinya, hadits-hadits di atas menyebutkan tentang waktu-waktu yang terlarang untuk mengerjakan shalat. Ada lima waktu yang terlarang: Ketika matahari terbit, ketika matahari terbenam, setelah shalat Shubuh, setelah shalat 'Ashar dan ketika matahari tepat berada di atas kepala saat tengah hari.
2. Akan tetapi, larangan shalat setelah shalat Shubuh dan shalat 'Ashar termasuk larangan yang telah dikhususkan oleh dua hadits berikut ini:
1. Hadits 'Ali bin Abi Thalib r.a, bahwasanya Rasulullah saw. melarang shalat setelah 'Ashar kecuali bila matahari masih tinggi, (Shahih, HR Abu Dawud [274], an-Nasa’i [1/280], Ahmad [1/129 dan 141], Ibnu Khuzaimah [1284 dan 1285], Ibnul Jarud [281], ath-Thayalisi [108], Ibnu Hibban [1547] dan [1562], al-Baihaqi [11/459], Abu Ya'la [411] dan [581], Ibnu Abi Syaibah [11/348-349] dan ath-Thahawi dalam Syarah Musykilil Aatsaar [5268-5272]).
2. Hadits Anas bin Malik r.a, bahwa Rasulullah saw. bersabda, "Janganlah kalian shalat ketika matahari terbit dan terbenam. Karena matahari terbit dan terbenam di antara dua tanduk syaitan. Dan shalatlah pada selain dua waktu tersebut," (Hasan, HR Abu Ya'la [4216] dan al-Bazzar [613]).

Dalam sejumlah buku-buku fiqh, banyak disebutkan tentang larangan mengerjakan shalat sunnah sesudah shalat Shubuh dan 'Ashar secara mutlak. Sampai-sampai sebagian ulama menukil kesepatakan dan ijma' ummat dalam masalah ini. Hujjah mereka adalah hadits-hadits umum di atas tadi. Para pembaca tentu sudah melihat dan menyimak bahwa larangan tersebut telah dikhususkan, bahwa yang dilarang adalah mengerjakan shalat pada saat matahari terbit dan terbenam.

Abul Fath al-Ya'mari telah menukil dari sejumlah ulama Salaf, seperti yang disebutkan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul Baari (0/61-62), mereka berkata, "Larangan mengerjakan shalat sesudah shalat Shubuh dan shalat 'Ashar sebenarnya untuk menjelaskan bahwa setelah shalat Shubuh dan shalat 'Ashar tidak ada shalat sunnah. Maksudnya bukan seperti larangan mengerja-kan shalat saat matahari terbit atau terbenam. Hal ini dikuatkan oleh hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan an-Nasa’i dengan sanad hasan, dari Rasulullah saw, bahwa beliau bersabda, ‘Janganlah mengerjakan shalat setelah shalat Shubuh dan 'Ashar, kecuali bila matahari masih terang sinarnya’,”

Dalam riwayat lain disebutkan, “Kecuali bila matahari masih tinggi.”

Jadi jelaslah, maksudnya bukan larangan mengerjakan shalat setelah shalat Shubuh atau shalat 'Ashar secara mutlak. Namun, maksudnya adalah larangan mengerjakan shalat pada waktu terbit atau terbenam matahari, atau mendekati kedua waktu tersebut, wallaabu a'lam."

Saya katakan, "Inilah pendapat yang mesti diambil dan dijadikan pegangan dalam masalah yang diperselisihkan ini. Jika engkau memang termasuk orang yang Allah sejukkan hatinya dengan keteduhan ittiba' (mengikut Sunnah Nabi), dan memperoleh kebahagiaan dengan keyakinan yang mantap, janganlah terperdaya dengan klaim ijma’ dalam masalah ini, kepopuleran pendapat dan banyaknya. Terlebih lagi bila bertentangan dengan Sunnah Nabawiyyah yang jelas lagi shahih."

Catatan penting 1:

Al-Baihaqi mengeluarkan komentar atas hadits ‘Ali r.a. yang perlu diluruskan agar masalah ini tidak menjadi rancu di benak para pembaca:
1. Al-Baihaqi berkata (11/459), "Meskipun Abu Dawud as-Sijistani telah meriwayatkannya dalam kitab Sunannya, namun hadits ini tidak diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim."

Saya katakan, "Tidak menjadi syarat shahih, hadits tersebut harus terdapat dalam kitab Bukhari dan Muslim.”
2. Al-Baihaqi berkata, "Wahb bin al-Ajda’ tidak memenuhi kriteria perawi yang dipakai oleh Bukhari dan Muslim."

Saya katakan, "Wahb bin al-Ajda' adalah seorang tabi'in yang tsiqah lagi masyhur seperti yang dikatakan oleh Ibnu Hazm dalam al-Muhalla (111/31). Apakah tennasuk syarat shahih hadits tersebut harus sesuai dengan kriteria Bukhari dan Muslim? Bukankah Bukhari dan Muslim sendiri telah menshahihkan banyak hadits yang tidak terdapat dalam kitab shahih mereka berdua?"
3. Al-Baihaqi berkata, "Ini hanyalah hadits dari seorang perawi saja, sementara hadits-hadits tentang larangan mengerjakan shalat sunnah sesudah shalat 'Ashar sampai terbenam matahari diriwayatkan oleh banyak perawi, hadits-hadits tersebut tentu lebih layak diambil."

Saya katakan, Jawabannya dari beberapa sisi:

Pertama: Kedua hadits tersebut shahih dan dapat diambil. Tidak ada pertentangan antara keduanya hingga kita harus memilih salah satunya karena jumlah perawinya lebih banyak. Karena hadits berisi larangan mengerjakan shalat sunnah setelah 'Ashar adalah hadits mutlak yang dibatasi pengertiannya oleh hadits 'Ali r.a.

Kedua: Hadits 'Ali tidaklah bertentangan dengan hadits yang diriwayatkan oleh perawi-perawi lainnya. Bahkan, di dalamnya terdapat tambahan dari perawi tsiqah yang harus diambil dan tidak boleh dibuang. Karena dalam hadits 'Ali terdapat maklumat tambahan. Dan orang yang mengetahui menjadi hujjah atas orang yang tidak mengetahui.

Ketiga: Hadits 'Ali bukanlah hadits dari seorang perawi saja, bahkan ada dua hadits yang menguatkannya sebagaimana yang telah dijelaskan dahulu, yakni hadits Anas bin Malik dan Bilal r.a.
4. Al-Baihaqi berkata, "Telah diriwayatkan dari 'Ali bin Abi Thalib r.a. sebuah hadits yang bertentangan dengan hadits tersebut, dan ada pula hadits yang mendukungnya. Adapun hadits yang bertentangan dengan-nya -lalu ia menyebutkan sanadnya sampai kepada 'Ali r.a. bahwa beliau berkata, 'Rasulullah saw. biasa mengerjakan shalat sunnah dua raka'at selepas shalat maktubah. kecuali (setelah) shalat Shubuh dan shalat 'Ashar’.”

Adapun hadits yang mendukungnya, lalu ia menyebutkan sanadnya sampai kepada 'Ashim bin Dhamrah ia berkata, "Kami bersama 'Ali r.a. dalam sebuah perjalanan. Beliau mengimami kami shalat 'Ashar dua raka'at, kemudian aku saksikan beliau masuk ke dalam kemahnya kemudian mengerjakan shalat dua raka'at."

Al-Baihaqi berkata, "Imam asy-Syafi'i telah meriwayatkan ketiga hadits ini dari 'Ali bin Abi Thalib r.a., kemudian beliau berkata, ‘Hadits-hadits ini bertentangan satu sama lain’."

Kemudian al-Baihaqi berkata, "Maka dari itu kita wajib mengikuti hadits yang terlepas dari kontroversi. Larangan tersebut khusus bagi shalat-shalat yang tidak memiliki sebab. Adapun shalat-shalat yang memiliki sebab tertentu dikecualikan dari larangan tersebut berdasarkan hadits Ummu Salamah, wallaahu a'lam"

Saya katakan, "Hadits yang diriwayatkan oleh al-Baihaqi, dari jalur Sufyan, dari Abu Ishaq, dari 'Ashim bin Dhamrah, dari 'Ali bin Abi Thalib r.a, ia berkata, 'Rasulullah biasa mengerjakan shalat sunnah dua raka'at selepas shalat maktubah kecuali shalat Shubuh dan 'Ashar,’ tidaklah bertentangan dengan hadits 'Ali yang lain yang berbunyi, Rasulullah saw. melarang mengerjakan shalat sunnah sesudah shalat 'Ashar, kecuali bila matahari masih tinggi' dari beberapa sisi berikut ini:

Pertama: Karena hadits tersebut menunjukkan bolehnya shalat setelah 'Ashar selama matahari belum mulai terbenam hingga benar-benar terbenam. Sementara hadits yang pertama menafikan bahwa Rasulullah saw. pernah mengerjakan dua raka'at sunnah setelah shalat 'Ashar.

Kedua: Sudah barang tentu, tidak semua perkara yang dibolehkan berdasarkan dalil syar'i pasti dilakukan oleh Rasulullah saw.

Ketiga: 'Ali r.a. mengabarkan sebatas yang beliau ketahui. Karena telah diriwayatkan dari Ummul Mukminin 'Aisyah dan Ummu Salamah r.a, bahwa Rastdullah saw. mengerjakan shalat dua raka'at setelah 'Ashar. Dua raka'at tersebut adalah shalat sunnah ba'diyah Zhuhur.

'Aisyah r.a. mengabarkan bahwa Rasulullah saw. rutin mengerjakannya dan terus mengerjakannya setelah itu. Berarti, kedua hadits tersebut saling bersesuaian dan tidak saling bertentangan, alhamdulillaah sebelum dan sesudahnya.

Ucapan al-Baihaqi, "Adapun hadits yang mendukungnya" kemudian ia membawakan sanad dari jalur Syu'bah, dari Abu Ishaq, dari 'Ashim bin Dhamrah, ia berkata: "Suatu ketika kami bersama 'Ali bin Abi Thalib dalam sebuah' perjalanan. Beliau mengimami kami shalat ‘Ashar. Kemudian aku saksikan beliau masuk ke dalam kemahnya dan mengerjakan shalat dua raka'at."

Ini merupakan perbuatan 'Ali bin Abi Thalib r.a. yang sesuai dengan riwayatnya. Oleh karena, itu ikhtilaf (pertentangan) ketiga hadits ini yang dinukil al-Baihaqi dari asy-Syafi'i tidak dapat dianggap benar. Sesungguhnya, di atas orang yang alim ada lagi yang lebih alim.

Dan ucapan al-Baihaqi, "Maka dari itu, kita wajib mengikuti hadits yang terlepas dari kontroversi."

Saya katakan, "Klaimnya, bahwa tidak ada perbedaan pendapat atau kontroversi dalam masalah ini tidak diterima begitu saja. Karena sebagian ulama berpendapat, mutlak terlarang mengerjakan shalat sunnah setelah Shubuh dan 'Ashar, baik memiliki sebab maupun tidak. Ulama Ash-haabur Ra'-yi berpendapat, Tidak boleh mengerjakan shalat apa pun pada waktu-waktu tersebut, baik shalat fardhu maupun lairmya. Kecuali mengerjakan shalat 'Ashar hari itu saat matahari terbenam.'

Kemudian al-Baihaqi berusaha mengkhususkan hadits tersebut. Hal itu harus ia lakukan, akan tetapi mengkhususkannya dengan hadits-hadits berisi larangan mengerjakan shalat pada saat terbit dan terbenam matahari tentu lebih tepat. Karena hadits tersebut berkaitan langsung dengan masalah ini (yakni tentang waktu-waktu yang terlarang mengerjakan shalat,'Pent-). Berbeda halnya dengan apa yang dilakukan oleh al-Baihaqi. Dalil-dalil yang dipakainya itu hanyalah tambahan bagi nash-nash yang berkaitan langsung dengan masalah ini. Terlebih lagi tidak ada pertentangan antara hadits-hadits 'Ali dan hadits-hadits lainnya.

Catatan penting 2 :

Adapun yang diriwayatkan dari 'Umar r.a, bahwa ia melarang 'Ali bin Abi Thalib mengerjakan shalat setelah shalat 'Ashar, 'Umar mengingatkan bahwa sebenarnya 'Ali tahu larangan Rasulullah saw. dalam masalah ini.

Abu Ja'far ath-Thahawi memberikan jawaban yang cukup tuntas terhadap riwayat ini dalam kitab Syarah Musykilil Aatsaar (XIII/290), ia berkata, "Dalam riwayat ini disebutkan bahwa 'Umar telah mengingatkan 'Ali tentang masalah tersebut. Yakni, 'Ali mengetahui larangan mengerjakan shalat sesudah shalat 'Ashar. Dan 'Umar tidaklah mengatakannya melainkan beliau juga mengetahui larangan Rasulullah tersebut. Apalagi 'Ali tidak membantah ucapan 'Umar. Apakah hal itu bertentangan dengan hadits Wahb bin al-Ajda' dari 'Ali ataukah tidak?"

Jawaban kami terhadap permasalahan di atas adalah sebagai berikut -dengan taufiq dan pertolongan Allah-, "Menurut pandangan kami, hadits Wahb dan hadits Ibnu Darraj di atas tidaklah saling bertentangan, wallaahu a'lam. Sebab, kemungkinan 'Ali r.a. shalat ketika matahari menurutnya masih tinggi, Rasulullah masih membolehkan shalat pada ketinggian matahari seperti itu. Sementara menurut 'Umar sudah tidak boleh lagi. Jadi, keduanya berselisih tentang ketinggian matahari yang masih dibolehkan shalat. Penyebab perselisihan keduanya bukanlah dalam masalah larangan mengerjakan shalat setelah 'Ashar yang diketahui 'Ali r.a. dari Rasulullah saw. Sebab, adakalanya sebagian orang memahami ketinggian matahari tersebut tidak seperti yang dipahami oleh sebagian lainnya yang sama-sama mendengar hadits tersebut."

Catatan penting 3:

Telah diriwayatkan dari 'Aisyah r.a, sebuah riwayat yang selaras dengan hadits Ali r.a, Yakni yang diriwayatkan oleh al-Miqdam bin Syuraih, dari ayahnya, ia berkata, "Aku bertanya kepada 'Aisyah, 'Apa yang dilakukan oleh Rasulullah saw. Sepertinya yang beliau maksud adalah apa yang beliau lakukan sesudah mengerjakan shalat Zhuhur dan shalat 'Ashar. 'Aisyah r.a. menjawab, ‘Beliau mengerjakan shalat Zhuhur, kemudian mengerjakan shalat sunnah dua raka'at sesudahnya. Setelah itu beliau mengerjakan shalat 'Ashar, kemudian mengerjakan shalat sunnah dua raka'at sesudahnya.’ Ayahku berkata lagi, 'Sungguh aku melihat 'Umar r.a. memukul seorang laki-laki yang beliau temui mengerjakan shalat sunnah dua raka'at setelah shalat 'Ashar.’

'Aisyah menjawab, "Umar sendiri pernah mengerjakannya dan ia juga tahu Rasulullah saw. telah mengerjakannya. Akan tetapi kaummu, penduduk Yaman adalah kaum yang bodoh. Apabila mereka telah mengerjakan shalat Zhuhur, maka mereka akan mengerjakan shalat sunnah sesudahnya sampai 'Ashar. Dan apabila mereka telah mengerjakan shalat 'Ashar, maka mereka akan mengerjakan shalat sunnah sesudahnya sampai Maghrib. Sungguh tepat apa yang dilakukan 'Umar itu’," (Shahih, HR Ahmad ]VI/254] dan ath-Thahawi dalam Syarah Musykilil Atsaar [5283]).

Ath-Thahawi mengatakan (XIII/296), "Hadits ini mengisyaratkan bahwa apa yang dipahami 'Aisyah tentang larangan mengerjakan shalat sunnah setelah 'Ashar sama seperti apa yang dipahami oleh 'Ali bin Abi Thalib r.a."

Dengan perincian di atas, menjadi jelaslah maksud larangan menyengaja shalat pada saat matahari terbit dan terbenam. Sebagaimana yang diriwayatkan dalam hadks Ibnu 'Umar r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda, "Janganlah salah seorang dari kamu menyengaja shalat ketika matahari terbit dan terbenam," (HR Bukhari [585]).

Dan hadits 'Aisyah r.a, bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Janganlah kalian mencari-cari waktu terbit dan terbenam matahari lalu mengerjakan shalat pada waktu tersebut," (HR Muslim [833]).
3. Rasulullah saw. telah menyebutkan alasan larangan shalat pada saat matahari terbit dan terbenam, yakni disebabkan matahari terbit dan terbenam di antara dua tanduk syaitan, pada saat itulah orang-orang kafir sujud kepada matahari. Dan Rasulullah saw. menyebutkan alasan larangan mengerjakan shalat pada saat matahari tepat di atas kepala, yaitu karena pada waktu tersebut, Neraka Jahannam dinyalakan dan dibuka pintu-pintunya.

Sungguh keliru al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul Baari (11/60) karena menukil perkataan al-Baghawi yang menyatakan bahwa larangan tersebut termasuk masalah ta'abbudiyyah mutlak yang tidak dapat diketahui makna dan alasannya.

Saya katakan, "Al-Baghawi tidak menggolongkan larangan tersebut ke dalam bab ta'abbudiyyah mutlak, namun menggolongkannya termasuk bab ta'lil nabawi (penyebutan 'illat) yang tidak diketahui hakikatnya. Sebab, termasuk pengabaran perkara ghaib. Beliau berkata dalam kitab Syarhus Sunnah (III/330), "Rasulullah saw. telah menyebutkan 'illat larangan shalat saat matahari terbit dan terbenam dalam hadits 'Amr bin 'Abasah, yakni disebabkan matahari pada saat itu berada di antara dua tanduk syaitan. Dan Rasulullah saw. juga menyebutkan larangan shalat pada saat tengah hari, karena pada saat itu Neraka Jahannam dinyalakan dan dibuka pintu-pintunya.

Illat seperti ini dan sejenisnya tidak dapat diketahui hakikat maknanya. Kewajiban kita hanyalah mengimaninya dan membenarkannya serta tidak membahasnya terlalu dalam. Kemudian, kita wajib memegang teguh hukum-hukum yang berkaitan dengannya."

Sebagian ulama ada yang membolehkan shalat pada waktu tengah hari di hari Jum'at. Mereka menyebutkan beberapa hadits dha'if, misalnya hadits Abu Qatadah dari Rasulullah saw, bahwa beliau membenci shalat pada waktu tengah hari kecuali hari Jum'at. Karena Neraka Jahannam dinyalakan setiap hari pada saat itu, kecuali hari Jum'at," (Dhaif, HR Abu Dawud [1083] dan al-Baihaqi [11/464]).

Inilah. pendapat yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, hanya saja sandaran beliau bukanlah hadits dha'if di atas, namun yang menjadi sandaran beliau adalah siapa saja yang menghadiri shalat Jum'at, dianjurkan agar mengerjakan shalat sunnah hingga khathib/imam keluar. Oleh sebab itu, Ibnu Qayyim al-Jauziyyah mengatakan dalam kitab Zaadul Ma 'aad (1/378-388), Itulah pendapat yang dipilih oleh guru kami, Abul 'Abbas Ibnu Taimiyyah, sandaran beliau bukanlah hadits yang diriwayatkan oleh Laits, dari Mujaahid, dari Abul Khalil, dari Abu Qatadah, dari Rasulullah saw. Namun, sandaran beliau adalah siapa saja yang menghadiri shalat Jum'at, dianjurkan agar mengerjakan shalat sunnah hingga khathib/imam keluar. Dalam hadits shahih disebutkan, "Tidaklah seorang lelaki mandi pada hari Jum'at, lalu bersuci sebersih-bersihnya, meminyaki rambut atau memakai wewangian yang dimilikinya, kemudian berangkat (ke masjid) dan tidak menceraiberaikan shaf, kemudian ia mengerjakan shalat sunnah yang mampu ia kerjakan, kemudian ia diam apabila imam telah memulai khutbah, melainkan akan diampuni dosanya antara Jum'at ke Jum'at berikutnya," (HR Bukhari).

Oleh sebab itu sejumlah Salaf, di antaranya 'Umar bin al-Khaththab r.a. dan diikuti oleh Ahmad bin Hanbal menyatakan, "Keluarnya imam berarti larangan shalat, dan khutbahnya berarti larangan berbicara."

Penyebab larangan shalat menurut mereka adalah keluarnya imam, bukan karena waktu itu adalah tengah hari.
4. Barangsiapa mendapati satu raka'at shalat Shubuh atau shalat 'Ashar sebelum matahari terbit atau terbenam, maka ia telah mendapati shalat (pada waktunya). Hendaklah ia menyempurnakan shalatnya karena ia telah mendapati waktunya. Dalilnya adalah hadits Abu Hurairah r.a, bahwa Rasulullah bersabda, "Barangsiapa mendapati satu raka'at shalat Shubuh sebelum matahari terbit, berarti ia telah mendapati shalat Shubuh (pada waktunya). Dan barangsiapa mendapati satu raka'at shalat 'Ashar sebelum matahari terbenam berarti ia telah mendapati shalat 'Ashar (pada waktunya)," (HR Bukhari [579] dan Muslim [609]).

Jadi, jelaslah bahwa larangan mengerjakan shalat pada waktu matahari terbit dan terbenam khusus bagi shalat-shalat sunnah, bukan shalat fardhu pada hari itu, wallaahu a'lam. Barangsiapa mengklaim bahwa hadits-hadits larangan tersebut menghapus hukum hadits Abu Hurairah di atas dan hadits-hadits lain yang khusus seperti hadits 'Ali yang baru lalu, maka pendapatnya itu sungguh keliru. Karena makna umum sebuah dalil tidak dapat menghapus makna khusus dalil lain, sebagaimana makna mutlak tidak dapat menghapus makna muqayyad. Akan tetapi, makna umum dan makna mutlak tersebut dibawakan kepada makna khusus dan makna muqayyad. Dan tidak syak lagi, takhshish atau taqyid (yakni mengkhususkan makna umum dan membatasi makna mutlak) lebih baik daripada menasakhkannya, wallaa.hu a'lam.

Sumber: Diadaptasi dari Syaikh Salim bin 'Ied al-Hilali, Al-Manaahisy Syar'iyyah fii Shahiihis Sunnah an-Nabawiyyah, atau Ensiklopedi Larangan menurut Al-Qur'an dan As-Sunnah, terj. Abu Ihsan al-Atsari (Pustaka Imam Syafi'i, 2006), hlm. 1/353-364.
READ MORE - waktu terlarang sholat